BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia bila dilihat dari segi sifat atau tindakannya yang positif dan negatif, sehingga dapat dibedakan seseorang dengan yang lainnya, dinamai oleh Al Qur’an dengan insan. Kata ini berakar dari kata yang dapat berarti “lupa”, “ gerak dinamis”, “jinak”, atau “senang”. Arti-arti tersebut menggambarkan sebagian dari sifat dasar manusia. Al Qur’an berbicara tentang makhluk ini, baik secara perorangan, maupun kelompok, juga peranannya dalam pergerakan sejarah serta faktor yang dapat membawa kebangkitan dan keruntuhannya.
Manusia atau masyarakat terdiri dari unsur yang menyatu luar dan dalam. Yang luar adalah jasmaninya atau bentuk lahiriah masyarakat, sedang yang dalam adalah perpaduan antara pandangan hidup dan tekat atau kehendaknya.
Walaupun Al Qur’an menguraiakan pentingnya pembinaan kedua unsur tersebut namun ditekankannya bahwa unsur itulah yang menggerakkan sejarah manusia serta mengantarkan masyarakatnya maju ke depan atau runtuh berantakan.
Seperti ditegaskan dalam Q.S. 13 : 11, yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang terdapat pada diri mereka”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa isi kandungan dari Surat At Tiin ayat 1-6 ?
2. Apa hakekat manusia menurut surat-surat tersebut di atas ?
3. Hal apa saja yang membuat derajat manusia lebih tinggi dari pada makhluk lainnya ?
4. Hal-hal apa sajakah yang membuat manusia lebih rendah derajatnya dari pada makhluk yang lainnya ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui kandungan dari urat At Tiin ayat 1-6.
2. Dapat mengetahui hakekat dari manusia.
3. Dapat mengetahui hal-hal yang membuat manusia tinggi derajatnya dan yang membuat derajatnya dari makhluk yang lainnya.
4. Dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN SURAT AT-TIN 1-6
() تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الإنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْ () الأمِينِ الْبَلَدِ وَهَذَا () سِينِينَ وَطُورِ () وَالزَّيْتُونِ وَالتِّينِ
() مَمْنُونٍ غَيْرُ أَجْرٌ فَلَهُمْ الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آمَنُوا الَّذِينَ إِلا () سَافِلِينَ أَسْفَلَ رَدَدْنَاهُ ثُمَّ
Artinya : Demi (buah) tin dan (buah) zaitun. Dan demi bukit sinai. Dan demi kota (Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusian dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tak putus-putusnya. (QS At-Tin : 1-6)
B. ASBABUN NUZUL
Imam Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Al 'Aufi bersumber dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." (Q.S. At Tiin, 5) Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa mereka yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah segolongan orang-orang yang dituakan umurnya hingga tua sekali pada zaman Rasulullah saw., karena itu ditanyakanlah perihal mereka, sewaktu mereka sudah pikun, maka Allah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang pemaafan bagi mereka, lalu dinyatakan-Nya bahwa bagi mereka pahala dari amal baik yang dahulu mereka lakukan sebelum mereka pikun.
C. TAFSIR SURAT AT-TIN 1-6
1. Ayat ke-1
. . . وَالزَّيْتُونِ وَالتِّينِ
“ Demi Tin dan Zaitun,”
Kata Tin dalam Al Quran hanya disebut satu kali, yaitu dalam surat ini. Ada ahli tafsir yang menyebutkan bahwa 'tin' adalah sejenis buah yang terdapat di Timur Tengah. Bila matang, warnanya coklat, berbiji seperti tomat, rasanya manis, berserat tinggi, dan dapat digunakan sebagai obat penghancur batu pada saluran kemih dan obat wasir. Oleh sebab itu, pada Al Quran terjemahan Departemen Agama, kalimat Wattiin diartikan dengan "Demi buah Tin"
Kata Zaitun disebut empat kali dalam Al Quran. "Zaitun" adalah sejenis tumbuhan yang banyak tumbuh di sekitar Laut Tengah, pohonnya berwarna hijau, buahnya pun berwarna hijau, namun ada pula yang berwarna hitam pekat, bentuknya seperti anggur, dapat dijadikan asinan dan minyak yang sangat jernih. Zaitun dinamai Al Quran sebagai syajarah mubaarakah (tumbuhan yang banyak manfaatnya).
Tidak semua ahli tafsir sependapat bahwa yang dimaksud Tin dan Zaitun adalah nama buah sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang berpendapat bahwa 'Tin' adalah nama bukit tempat Nabi Ibrahim a.s. menerima wahyu, sedangkan 'Zaitun' adalah nama bukit di dekat Yerusalem tempat Nabi Isa menerima wahyu. Jadi 'Tin' dan 'Zaitun' adalah dua tempat yang dianggap bersejarah, karena di tempat itulah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isa a.s. menerima wahyu.
Kedua pendapat tersebut sama-sama memiliki alasan yang kuat. Namun, kalau kita cermati konteks ayatnya, kelihatannya pendapat terakhir lebih logis karena pada ayat berikutnya, yaitu ayat kedua dan ketiga, Allah swt. berfirman tentang bukit Sinai dan kota Mekah.
2. Ayat ke-2 sampai ke-3
. . . الأمِينِ الْبَلَدِ وَهَذَا,سِينِينَ وَطُورِ
" dan demi bukit Sinai, dan demi kota Mekkah ini yang aman"
Hampir seluruh ahli tafsir sependapat kalau yang dimaksud 'Thuur Sinin' pada ayat tersebut adalah bukit Tursina atau lebih dikenal dengan nama bukit Sinai, yaitu bukit yang berada di Palestina, tempat Nabi Musa a.s. menerima wahyu. Sementara yang dimaksud 'Baladil Amiin' adalah kota Mekkah, tempat Nabi Muhammad saw. menerima wahyu.
Dengan ayat-ayat di atas Allah swt. bersumpah dengan empat tempat penting, yaitu Tin, Tursina (bukit Sinai), Zaitun, dan Baladil Amin (kota Mekah), dimana pada empat tempat tersebut Nabi Ibrahim as., Musa as., Isa as., dan Muhammad saw. menerima wahyu untuk memberikan bimbingan dan pencerahan hidup pada umat manusia.
Bimbingan yang diberikan para nabi dan rasul ditujukan untuk menjaga agar manusia tetap berada dalam kemuliaannya karena manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah swt. dalam bentuk yang terbaik, sehingga dijelaskan pada ayat berikutnya.
3. Ayat ke-4
. . . تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الإنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْ
"sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya,"
Di sini Allah berfirman bahwa demi keempat hal di atas, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kata ( خلقنا ) khalaqna/ Kami telah menciptakan berasal dari kata ( خلق ) khalaqa dan ( نا ) na yang berfungsi sebagai kata ganti nama, kata na (Kami) yang menjadi akta ganti nama itu menunjuk kepada jama’ (banyak), tetapi juga bisa digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksut mengagungkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya menggunakan kata kami, begitu juga Allah. Dari sisi lain penggunaan kata ganti bentuk jama’ itu (kami) yang menunjuk pada Allah mengisyaratkan keterlibatan-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata ganti tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini yakni bapak ibu manusia. Dalam Q.S. Al Mukminun (23) : 14, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Ahsan Al Khaliqin/ sebaik-baiknya pencipta.
Kata ( الانسان ) Al Insan/manusia yang dimaksud ayat ini, menurut Al Qutubi bahwa manusia-manusia yang durhaka pada Allah, pendapat ini bertentangan dengan para tafsir lain karena adanya pengecualian yaitu kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksut ayat ini jenis manusia pada umumnya mencakup mukmin atau kafir, bahkan Asy Syathi merumuskan bahwa semua kata al insan dalam Al Qur’an berbentuk definitif yaitu dengan menggunakan kata sandang ( ال ) / al berarti menegaskan jenis manusia secara umum.
Kata ( تقويم ) taqwim diartikan sebagai menunjuk suatu sesuatu memiliki ( قوم ) qiwam yaitu bentuk fisik yang pas dengan fungsinya.
Firman-Nya, bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah, ini sesuai dengan Q.S. Al Isra’ (17) : 70. yang artinya:
“Kami mengutamakan mereka atas banyak, yakni bukan semua dari makhluk-makhluk yang kami ciptakan dengan pengutamaan yang besar”.
Q.S. As Sajdah (32) : 7, yang artinya :
“Dia yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Atas dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-baiknya dalam fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, makhluk yang lainnya pun sebaik-baiknya sesuai fungsi masing-masing.
Allah swt. dalam ayat ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar bahasa Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat ini merupakan isarat tentang keistimewaan manusia dibanding binatang, yaitu dengan dikaruniainya akal, pemahaman, dan bentuk fisik yang tegak dan lurus. Jadi 'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya.
Kalau kita cermati lebih jauh, sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan hanya sekedar pada bentuk fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk Allah lainnya pun menempati peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat.
Dalam surat Al-Isra’ ayat 70 disebutkan :
الطَّيِّبَاتِ مِنَ وَرَزَقْنَاهُمْ وَالْبَحْرِ الْبَرِّ فِي وَحَمَلْنَاهُمْ آدَمَ بني كَرَّمْنَا وَلَقَدْ
تَفْضِيلا مِمَّنْ كَثِيرٍ عَلَى وَفَضَّلْنَاهُمْ خَلَقْنَا
“ Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam (manusia) dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol.” (Q.S. Al Isra 17:70)
Pada prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman dan taat kepada Allah swt., ia bisa melebihi kemuliaan para malaikat. Ada beberapa alasan yang mendukung pernyataan tersebut. Pertama, Allah swt. memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal penciptaan manusia Allah berfirman:
"Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al Baqarah 2:34)
Kedua, malaikat tidak bisa menjawab pertanyaan Allah tentang al asma (nama-nama ilmu pengetahuan), sedangkan Adam a.s. mampu karena memang diberi ilmu oleh Allah swt., "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Allah berfirman: " Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: " Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32).
Ketiga, kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah tabiatnya, sebab malaikat tidak memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan.
Keempat, manusia diberi tugas oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
Mencermati analisis di atas, bisa disimpulkan betapa Allah swt. Telah memberikan kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik dan psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak mampu mengemban amanah yang begitu besar, derajatnya akan turun ke tingkat yang paling hina, bahkan bisa lebih hina dari binatang sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.
4. Ayat ke-5
. . . سَافِلِينَ أَسْفَلَ رَدَدْنَاهُ ثُمَّ
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,"
Kata ( هنارد ) radadnahu terdiri atas ( ردد ) radada dirangkaikan dengan kata ganti dalam bentuk jamak ( نا ) na serta kata ganti yang berkdudukan objek ( ه ) ha / -nya. Di sini menggambarkan kejatuhannya ke tempat yang serendah-rendahnya. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa keterlibatan manusia amat besar ( ردد ) radada, antara lain berarti mengalihkan, memalingkan atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut disimpulkan sebagai perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya. Atas dasar ini kata tersebut dapat pula diartikan menjadi kembali.
Ada beberapa pendapat tentang mengapa manusia dialihkan ke tingkat yang serendah-rendahnya :
Pendapat pertama :
Keadaan kelemahan fisik dan psikis di asat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar, berhubungan dengan adanya pengecualian pada ayat “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh”, karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata illa, diterjemahkan tetapi bukan kecuali.
Pendapat kedua :
Neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini juga dipertanyakan, apakah sebelum ini manusia pernah berada di neraka. Pendapat ini bisa diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengembalikannya atau menjadikannya.
Pendapat ketiga :
Keadaan ketika ruh illahi belum menyatu dengan diri manusia. Pendapat ini lebih dapat di terima menurut Qurais Shihab seperti pada Q.S. Al Hijr (14) : 29 dan Q.S. Shad (38) : 72, Q.S. Al Mu’minun (23) : 12-14, dijelaskan tentang reproduksi tanah manusia dari saripati tanah, kemudian nutfah, kemudian ‘alaqah, kemudian mudhghat dan ‘izham, proses fisik ini kemudian “dijadikan ia oleh Allah makhluk yang berbeda dari yang lain”, yakni dengan jalan menghembuskan ruh illahi kepadanya.
Manusia akan mencapai tingkat (ahsan-taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Jika hanya memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, maka manusia akan kembali kepada proses awal sebelum ruh illahi itu menyentuh fisiknya, kembali ke asfala syafilin.
Selain 3 pendapat diatas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kalau binatang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan perut dan syahwat biologisnya, kita tidak bisa mengategorikannya sebagai perbuatan hina, karena binatang tidak diberi akal dan nurani. Namun, kalau manusia melakukan hal yang sama seperti binatang, kita mengategorikannya sebagai perbuatan hina karena manusia diberi akal dan nurani untuk mengontrol perbuatannya. Nah, kalau kita tidak pernah menggunakan akal sehat dan nurani untuk mengarungi kehidupan, berarti derajat kita anjlok ke level yang serendah-rendahnya.
Agar tidak turun ke derajat yang paling rendah, Allah swt. Memerintahkan manusia untuk mengisi hidup dengan iman dan amal saleh, sebagaimana dijelaskan pada ayat berikutnya,
5. Ayat ke-6
. . . مَمْنُونٍ غَيْرُ أَجْرٌ فَلَهُمْ الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آمَنُوا الَّذِينَ إِلا
"Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya."
Orang yang tidak akan turun pada derajat yang paling rendah adalah orang-orang beriman. Iman secara bahasa bermakna "pembenaran". Maksudnya pembenaran terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., yang pokok-pokoknya tergambar dalam rukun iman yang enam; yakni (1) keesaan Allah swt., (2) malaikat, (3) kitab-kitab suci, (4) para nabi dan rasul Allah, (5) hari kemudian, (6) takdir yang baik & buruk.
Peringkat iman dan kekuatannya berbeda antara satu dan saat lainnya. Begitu pula dengan kekuatan iman masing-masing manusia, berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa 'Al immanu yaziidu wa yanqushu' (iman itu fluktuatif, dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Karena itulah kita wajib merawat iman agar tetap prima.
Seseorang dapat dikatakan memiliki iman yang kuat bila memenuhi ciri-ciri sbb:
1. memiliki jiwa muraqabah, artinya selalu merasa dilihat, ditatap, dan diawasi Allah swt.
2. hatinya mudah tersentuh dengan nasihat-nasihat agama,
3. berjiwa tawakal, pasrah kepada Allah setelah berikhtiar dengan sungguh-sungguh,
4. selalu berkomunikasi dengan Allah dengan shalat dan doa,
5. memiliki kepekaan sosial, sehingga selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir miskin.
Ciri-ciri ini diambil dari firman Allah dalam surat al-anfal ayat 2-4 yang artinya :
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu orang-orang yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan pada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta nikmat yang mulia." (Q.S. Al Anfal 8:2-4)
Setelah beriman, yang bisa menyelamatkan manusia dari kejatuhan adalah 'Amilus shalihat' (beramal saleh). Kalimat 'Amilus shalihat' dalam Al Quran disebut hingga 52 kali. Kata 'amiluu berasal dari kata 'amalun, artinya pekerjaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata 'shalihaat' berasal dari kata 'shaluha', artinya bermanfaat atau sesuai.
Jadi, amal saleh adalah aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya maupun untuk orang lain, serta pekerjaannya itu sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikannya sebagai berikut, "Amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
Perlu ditegaskan, amal saleh harus dibarengi dengan poin pertama yaitu iman. Tanpa iman kepada Allah swt., amal yang dilakukan akan sia-sia belaka.
PENUTUP
Dari uraian-uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ayat-ayat di atas menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk yang lain apabila dapat menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Akan tetapi manusia juga dapat menjadi rendah serendah-rendahnya makhluk karena ia tidak bisa mengontrol hawa nafsunya.
Namun demikian manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan derajat yang paling tinggi, karena setiap makhluk menjadi tinggi derajatnya apabila melaksanakan apa yang menjadi fungsi dan tugasnya masing-masing.