Rabu, 21 Desember 2011

Tafsir Surat At-Tin


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang                                        
Manusia bila dilihat dari segi sifat atau tindakannya yang positif dan negatif, sehingga dapat dibedakan seseorang dengan yang lainnya, dinamai oleh Al Qur’an dengan insan. Kata ini berakar dari kata yang dapat berarti “lupa”, “ gerak dinamis”, “jinak”, atau “senang”. Arti-arti tersebut menggambarkan sebagian dari sifat dasar manusia. Al Qur’an berbicara tentang makhluk ini, baik secara perorangan, maupun kelompok, juga peranannya dalam pergerakan sejarah serta faktor yang dapat membawa kebangkitan dan keruntuhannya.
Manusia atau masyarakat terdiri dari unsur yang menyatu luar dan dalam. Yang luar adalah jasmaninya atau bentuk lahiriah masyarakat, sedang yang dalam adalah perpaduan antara pandangan hidup dan tekat atau kehendaknya.
Walaupun Al Qur’an menguraiakan pentingnya pembinaan kedua unsur tersebut namun ditekankannya bahwa unsur itulah yang menggerakkan sejarah manusia serta mengantarkan masyarakatnya maju ke depan atau runtuh berantakan.
Seperti ditegaskan dalam Q.S. 13 : 11, yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang terdapat pada diri mereka”.
B. Rumusan Masalah
1.    Apa isi kandungan dari  Surat At Tiin ayat 1-6 ?
2.    Apa hakekat manusia menurut surat-surat tersebut di atas ?
3.    Hal apa saja yang membuat derajat manusia lebih tinggi dari pada makhluk lainnya ?
4.    Hal-hal apa sajakah yang membuat manusia lebih rendah derajatnya dari pada makhluk yang lainnya ?
C. Tujuan
1.    Dapat mengetahui kandungan dari urat At Tiin ayat 1-6.
2.    Dapat mengetahui hakekat dari manusia.
3. Dapat mengetahui hal-hal yang membuat manusia tinggi derajatnya dan yang       membuat derajatnya dari makhluk yang lainnya.
4.    Dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut di atas.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  AL-QUR’AN SURAT AT-TIN 1-6
 () تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الإنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْ () الأمِينِ الْبَلَدِ وَهَذَا () سِينِينَ وَطُورِ () وَالزَّيْتُونِ وَالتِّينِ
() مَمْنُونٍ غَيْرُ أَجْرٌ فَلَهُمْ الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آمَنُوا الَّذِينَ إِلا () سَافِلِينَ أَسْفَلَ رَدَدْنَاهُ ثُمَّ
Artinya : Demi (buah) tin dan (buah) zaitun. Dan demi bukit sinai. Dan demi kota (Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusian dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tak putus-putusnya. (QS At-Tin : 1-6)

B.  ASBABUN NUZUL
Imam Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Al 'Aufi bersumber dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." (Q.S. At Tiin, 5) Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa mereka yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah segolongan orang-orang yang dituakan umurnya hingga tua sekali pada zaman Rasulullah saw., karena itu ditanyakanlah perihal mereka, sewaktu mereka sudah pikun, maka Allah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang pemaafan bagi mereka, lalu dinyatakan-Nya bahwa bagi mereka pahala dari amal baik yang dahulu mereka lakukan sebelum mereka pikun.

C.  TAFSIR SURAT AT-TIN 1-6
1.    Ayat ke-1
. . . وَالزَّيْتُونِ وَالتِّينِ
“ Demi Tin dan Zaitun,”
          Kata Tin dalam Al Quran hanya disebut satu kali, yaitu dalam surat ini. Ada ahli  tafsir  yang  menyebutkan bahwa 'tin' adalah sejenis buah yang terdapat di Timur  Tengah.  Bila  matang,  warnanya  coklat,  berbiji seperti tomat, rasanya manis,  berserat  tinggi,  dan dapat digunakan sebagai obat penghancur batu pada saluran  kemih  dan  obat  wasir.  Oleh  sebab  itu,  pada  Al  Quran terjemahan Departemen Agama, kalimat Wattiin diartikan dengan "Demi buah Tin"
          Kata  Zaitun  disebut  empat  kali  dalam Al Quran. "Zaitun" adalah sejenis tumbuhan  yang  banyak  tumbuh di sekitar  Laut Tengah, pohonnya berwarna hijau, buahnya  pun berwarna hijau, namun ada pula yang berwarna hitam pekat, bentuknya seperti  anggur,  dapat  dijadikan  asinan dan minyak yang sangat jernih. Zaitun dinamai  Al Quran sebagai syajarah mubaarakah (tumbuhan yang banyak manfaatnya).
          Tidak  semua  ahli  tafsir  sependapat  bahwa  yang dimaksud Tin dan Zaitun adalah nama buah sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang berpendapat bahwa 'Tin'  adalah  nama  bukit  tempat  Nabi  Ibrahim a.s. menerima wahyu, sedangkan 'Zaitun'  adalah  nama  bukit di dekat Yerusalem tempat Nabi Isa menerima wahyu. Jadi  'Tin'  dan  'Zaitun' adalah dua tempat yang dianggap bersejarah, karena di tempat itulah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isa a.s. menerima wahyu.
          Kedua  pendapat  tersebut sama-sama memiliki alasan yang kuat. Namun, kalau kita  cermati konteks ayatnya, kelihatannya pendapat terakhir lebih logis karena pada  ayat berikutnya, yaitu ayat kedua dan ketiga, Allah swt. berfirman tentang bukit Sinai dan kota Mekah.
2.    Ayat  ke-2 sampai ke-3
. . . الأمِينِ الْبَلَدِ وَهَذَا,سِينِينَ وَطُورِ
" dan demi bukit Sinai, dan demi kota Mekkah ini yang aman"
          Hampir  seluruh  ahli  tafsir  sependapat kalau yang dimaksud 'Thuur Sinin' pada  ayat  tersebut  adalah  bukit Tursina atau lebih dikenal dengan nama bukit Sinai,  yaitu  bukit  yang  berada  di Palestina, tempat Nabi Musa a.s. menerima wahyu.  Sementara  yang dimaksud 'Baladil Amiin' adalah kota Mekkah, tempat Nabi Muhammad saw. menerima wahyu.
          Dengan  ayat-ayat di atas Allah swt. bersumpah dengan empat tempat penting, yaitu  Tin, Tursina (bukit Sinai), Zaitun, dan Baladil Amin (kota Mekah), dimana pada  empat  tempat  tersebut  Nabi Ibrahim as., Musa as., Isa as., dan Muhammad saw.  menerima  wahyu  untuk memberikan bimbingan dan pencerahan hidup pada umat manusia.
          Bimbingan  yang  diberikan para nabi dan rasul ditujukan untuk menjaga agar manusia  tetap  berada  dalam  kemuliaannya  karena  manusia adalah makhluk yang diciptakan  Allah  swt. dalam bentuk yang terbaik, sehingga dijelaskan pada ayat berikutnya.
3.      Ayat ke-4
. . . تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الإنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْ
"sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya,"
Di sini Allah berfirman bahwa demi keempat hal di atas, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.  Kata ( خلقنا ) khalaqna/ Kami telah menciptakan berasal dari kata ( خلق ) khalaqa  dan ( نا ) na yang berfungsi sebagai kata ganti nama, kata na (Kami) yang menjadi akta ganti nama itu menunjuk kepada jama’ (banyak), tetapi juga bisa digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksut mengagungkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya menggunakan kata kami, begitu juga Allah. Dari sisi lain penggunaan kata ganti bentuk jama’ itu (kami) yang menunjuk pada Allah mengisyaratkan keterlibatan-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata ganti tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini yakni bapak ibu manusia. Dalam Q.S. Al Mukminun (23) : 14, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Ahsan Al Khaliqin/ sebaik-baiknya pencipta.
Kata (  الانسان ) Al Insan/manusia yang dimaksud ayat ini, menurut Al Qutubi bahwa manusia-manusia yang durhaka pada Allah, pendapat ini bertentangan dengan para tafsir lain karena adanya pengecualian yaitu kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksut ayat ini jenis manusia pada umumnya mencakup mukmin  atau kafir, bahkan Asy Syathi merumuskan bahwa semua kata al insan  dalam Al Qur’an berbentuk definitif yaitu dengan menggunakan kata sandang ( ال ) / al berarti menegaskan jenis manusia secara umum.
Kata ( تقويم ) taqwim diartikan sebagai menunjuk suatu sesuatu memiliki (  قوم  ) qiwam  yaitu bentuk fisik yang pas dengan fungsinya.
Firman-Nya, bahwa  manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah, ini sesuai dengan Q.S. Al Isra’ (17) : 70. yang artinya:
“Kami mengutamakan mereka atas banyak, yakni bukan semua dari makhluk-makhluk yang kami ciptakan dengan pengutamaan yang besar”.
Q.S. As Sajdah (32) : 7, yang artinya :
“Dia yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Atas dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-baiknya dalam fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, makhluk yang lainnya pun sebaik-baiknya sesuai fungsi masing-masing.
          Allah  swt.  dalam  ayat  ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu diciptakan  dalam  bentuk  yang  paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar  bahasa  Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat ini merupakan isarat   tentang   keistimewaan   manusia   dibanding   binatang,  yaitu  dengan dikaruniainya  akal,  pemahaman,  dan  bentuk  fisik  yang tegak dan lurus. Jadi 'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya.
          Kalau  kita  cermati  lebih  jauh,  sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan hanya  sekedar pada bentuk fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk  Allah  lainnya  pun  menempati  peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat.
          Dalam surat Al-Isra’ ayat 70 disebutkan :
الطَّيِّبَاتِ مِنَ وَرَزَقْنَاهُمْ وَالْبَحْرِ الْبَرِّ فِي وَحَمَلْنَاهُمْ آدَمَ بني كَرَّمْنَا وَلَقَدْ
تَفْضِيلا مِمَّنْ كَثِيرٍ عَلَى وَفَضَّلْنَاهُمْ خَلَقْنَا
“ Dan  sesungguhnya  Kami  telah  memuliakan  anak Adam (manusia) dan Kami angkut mereka  di  darat  dan  di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol.” (Q.S. Al Isra 17:70)
          Pada  prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman dan  taat  kepada  Allah  swt.,  ia  bisa  melebihi kemuliaan para malaikat. Ada beberapa   alasan  yang  mendukung  pernyataan  tersebut.  Pertama,  Allah  swt. memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal penciptaan  manusia  Allah berfirman:
          "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para  Malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia  enggan  dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al Baqarah 2:34)
          Kedua,  malaikat  tidak  bisa  menjawab  pertanyaan  Allah  tentang al asma (nama-nama  ilmu  pengetahuan),  sedangkan  Adam a.s. mampu karena memang diberi ilmu  oleh  Allah  swt.,  "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian  mengemukakannya  kepada  para  malaikat,  lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku  nama  benda-benda  itu  jika  kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab,  "Maha  Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau  ajarkan  kepada  kami;  sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha  Bijaksana."  Allah  berfirman:  " Hai  Adam,  beritahukanlah  kepada mereka nama-nama  benda  ini." Maka  setelah  diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda   itu,   Allah   berfirman: " Bukankah  sudah  Kukatakan  kepadamu,  bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32).
          Ketiga,  kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah tabiatnya, sebab malaikat  tidak memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan.
          Keempat,  manusia  diberi  tugas  oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi:
          "Ingatlah  ketika  Tuhanmu  berfirman  kepada  para  malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
          Mencermati  analisis  di  atas,  bisa  disimpulkan  betapa Allah swt. Telah memberikan  kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik  dan  psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak mampu  mengemban amanah yang begitu besar, derajatnya akan turun ke tingkat yang paling  hina,  bahkan  bisa  lebih  hina  dari  binatang  sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.
4.    Ayat ke-5
. . . سَافِلِينَ أَسْفَلَ رَدَدْنَاهُ ثُمَّ
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,"
Kata ( هنارد ) radadnahu terdiri atas (  ردد ) radada dirangkaikan dengan kata ganti dalam bentuk jamak ( نا ) na serta kata ganti yang berkdudukan objek (  ه ) ha / -nya. Di sini menggambarkan kejatuhannya ke tempat yang serendah-rendahnya. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa keterlibatan manusia amat besar ( ردد ) radada, antara lain berarti mengalihkan, memalingkan atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut disimpulkan sebagai perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya. Atas dasar ini kata tersebut dapat pula diartikan menjadi kembali.
Ada beberapa pendapat tentang mengapa manusia dialihkan ke tingkat yang serendah-rendahnya :
Pendapat pertama :
Keadaan kelemahan fisik dan psikis di asat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar, berhubungan dengan adanya pengecualian pada ayat “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh”, karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata illa, diterjemahkan tetapi bukan kecuali.
Pendapat kedua :
Neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini juga dipertanyakan, apakah sebelum ini manusia pernah berada di neraka. Pendapat ini bisa diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengembalikannya atau menjadikannya.
Pendapat ketiga :
Keadaan ketika ruh illahi belum menyatu dengan diri manusia. Pendapat ini lebih dapat di terima menurut Qurais Shihab seperti pada Q.S. Al Hijr (14) : 29 dan Q.S. Shad (38) : 72, Q.S. Al Mu’minun (23) : 12-14, dijelaskan tentang reproduksi tanah manusia dari saripati tanah, kemudian nutfah, kemudian ‘alaqah, kemudian mudhghat dan ‘izham, proses fisik ini kemudian “dijadikan ia oleh Allah makhluk yang berbeda dari yang lain, yakni dengan jalan menghembuskan ruh illahi kepadanya.
Manusia akan mencapai tingkat (ahsan-taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Jika hanya memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, maka manusia akan kembali kepada proses awal sebelum ruh illahi itu menyentuh fisiknya, kembali ke asfala syafilin.
          Selain 3 pendapat diatas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kalau  binatang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan perut dan syahwat  biologisnya,  kita tidak bisa mengategorikannya sebagai perbuatan hina, karena binatang tidak diberi akal dan nurani. Namun, kalau manusia melakukan hal yang sama seperti binatang, kita mengategorikannya sebagai perbuatan hina karena manusia  diberi  akal  dan nurani untuk mengontrol perbuatannya. Nah, kalau kita tidak  pernah  menggunakan  akal  sehat  dan  nurani untuk mengarungi kehidupan, berarti derajat kita anjlok ke level yang serendah-rendahnya.
          Agar  tidak  turun  ke derajat yang paling rendah, Allah swt. Memerintahkan manusia  untuk  mengisi hidup dengan iman dan amal saleh, sebagaimana dijelaskan pada ayat berikutnya,
5.      Ayat ke-6
. . . مَمْنُونٍ غَيْرُ أَجْرٌ فَلَهُمْ الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آمَنُوا الَّذِينَ إِلا
  "Kecuali  orang-orang  yang  beriman dan beramal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya."
          Orang  yang  tidak  akan  turun  pada  derajat  yang  paling  rendah adalah orang-orang   beriman.  Iman  secara  bahasa  bermakna  "pembenaran".  Maksudnya pembenaran   terhadap  apa  yang  disampaikan  oleh  Nabi  Muhammad  saw.,  yang pokok-pokoknya  tergambar  dalam  rukun  iman yang enam; yakni (1) keesaan Allah swt.,  (2)  malaikat,  (3)  kitab-kitab suci, (4) para nabi dan rasul Allah, (5) hari kemudian, (6) takdir yang baik & buruk.
          Peringkat iman dan kekuatannya berbeda antara satu dan saat lainnya. Begitu pula  dengan  kekuatan  iman  masing-masing  manusia, berbeda antara satu dengan lainnya.  Dalam  suatu riwayat, disebutkan bahwa 'Al immanu yaziidu wa yanqushu' (iman  itu  fluktuatif,  dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Karena itulah kita wajib merawat iman agar tetap prima.
          Seseorang  dapat  dikatakan memiliki iman yang kuat bila memenuhi ciri-ciri sbb:
1.    memiliki jiwa muraqabah, artinya selalu merasa dilihat, ditatap, dan diawasi Allah swt.
2.    hatinya mudah tersentuh dengan nasihat-nasihat agama,
3.    berjiwa   tawakal,   pasrah   kepada   Allah   setelah   berikhtiar  dengan sungguh-sungguh,
4.    selalu berkomunikasi dengan Allah dengan shalat dan doa,
5.    memiliki kepekaan sosial, sehingga selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir   miskin.
          Ciri-ciri ini diambil dari firman Allah dalam surat al-anfal ayat 2-4 yang artinya :
"Sesungguhnya  orang-orang  yang  beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama   Allah  gemetarlah  hati  mereka,  dan  apabila  dibacakan  kepada  mereka ayat-ayat-Nya,  bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu  orang-orang  yang  mendirikan  sholat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang   Kami   berikan  pada  mereka.  Itulah  orang-orang  yang  beriman  dengan sebenar-benarnya.  Mereka  akan  memperoleh  beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta nikmat yang mulia." (Q.S. Al Anfal 8:2-4)
          Setelah  beriman,  yang  bisa  menyelamatkan  manusia dari kejatuhan adalah 'Amilus  shalihat'  (beramal  saleh).  Kalimat  'Amilus shalihat' dalam Al Quran disebut  hingga  52  kali.  Kata  'amiluu  berasal  dari  kata  'amalun, artinya pekerjaan  yang  dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata 'shalihaat' berasal dari kata 'shaluha', artinya bermanfaat atau sesuai.
          Jadi,  amal  saleh  adalah  aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya maupun untuk orang lain, serta pekerjaannya  itu  sesuai  dengan  aturan-aturan  yang  telah ditentukan. Syaikh Muhammad  Abduh  mendefinisikannya  sebagai  berikut,  "Amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
          Perlu  ditegaskan,  amal  saleh  harus  dibarengi dengan poin pertama yaitu iman. Tanpa iman kepada Allah swt., amal yang dilakukan akan sia-sia belaka.

BAB III
PENUTUP

Dari uraian-uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ayat-ayat di atas menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk yang lain apabila dapat menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Akan tetapi manusia juga dapat menjadi rendah serendah-rendahnya makhluk karena ia tidak bisa mengontrol hawa nafsunya.
Namun demikian manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan derajat yang paling tinggi, karena setiap makhluk menjadi tinggi derajatnya apabila melaksanakan apa yang menjadi fungsi dan tugasnya masing-masing.

Paradigma Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN
            Pendidikan merupakan suatu pendidikan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju kepribadian yang utama. Pendidikan juga merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang bertujuan untuk membentuk kedewasaan pada diri anak. Proses pendidikan ini dikemas dalam suatu sistem yang saling berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Pendidikan dalam islam mempunyai sistem yang dapat dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan secara operasional.
            Unsur-unsur yang saling tekait dalam sistem pendidikan terdiri atas komponen-komponen: tujuan, anak didik, pendidik, lingkungan dan alat pendidikan. Sistem pendidikan ini mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan zaman sehingga hasil dari pendidikan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sistem berarti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan. Sehingga membentuk suatu totalitas. Susunan yang teratur dari pandangan,teori, asas, dan sebagainya. Sistem juga dapat diartikan dengan metode.
            Kalau dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pendidikan Islam, maka dapat dipahami bahwa sistem pendidikan Islam adalah seperangkat unsur yang terdapat dalam pendidikan yang berorentasi pada ajaran Islam yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan dalam mencapai tujuan yaitu membentuk kepribadian utama.
Sistem pendidikan Islam yang ada sekarang ini merupakan pengembangan dari sistem pendidikan terdahulu. Kemudian mengalami perkembangan sehingga komponen sistem terdiri atas tujuan, pendidikan, anak didik, sarana/alat, dan lingkungan.









BAB II
PEMBAHASAN
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
            Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge, 1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan kehidupan islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam. Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bisa dipahami dari makna hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab dinamakan al-hayah. Makna al-hayah adalah al-harokah, dan alharakah adalah al-barkah (bergerak atu beraktivitas yang bisa mendatangkan berkah), al-ni’mah (kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagyaan). Karena itu, pandangn hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup seseorang harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan dan kebahagyan dalam hidup. Namun demikian, timbul pula pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak bisa dipisahkan dalam sestim politik dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya.
            Secara historis-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul paradigma pengembangan pendidikan sebagai berikut:
1.    FORMISME, MEKANISME DAN ORGANISME
A.    Paradigma Formisme
       Yaitu cara pandang sederhana yang memandang kepada perbedaan atau dikotomi atau diskrit.
       Karena paradigma ini maka terjadi dikotomi dan pemisahan antara sekolah umum dengan sekolah agama, antara swata dan negeri, antara dunia dan akhirat, sehingga dapat menimbulkan cara pandang yang sempit dan tidak akan mencapai suatu kemajuan yang berarti. Hendaknya Pendidikan agama Islam tidak melakukan paradigma dikotomi, sehingga pendidikan Agama Islam dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia dan menyenangkan
       Dengan demikian, pendidikan kegamaan dihadapkan dengan pendidikan non keagamaan, pendidikan keislaman dengan pnon keislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya, sehingga pendidikan Islam(al-tarbiyah al-Islamiyah) berarti al-tarbiyah al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-din/pengajaran keagamaan atau al-taklim al-islami/pengajaran keislaman dalam rangka tarbiyah al-muslimin(mendidik orang-orang Islam). Karena itu, pengembangan pendidikan islam hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dalam kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi garap pendidikan umum (non_agama). Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama atau ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.
B.       Paradigma Mekanisme
Paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinanya dan sekaligus pimpinan dari lembaga tersebut. Terutama dlam membangun kerjasama dengan mata pelajaran/kuliah lain. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa matapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertikal linear.
       Paradikma mechanism juga memandang bahwa pendidikan adalah sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
       Aspek-aspek atau nilai keadilan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social, nilai polotik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetika, nilai biofisik, dan lain lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainya. Hubungan nilai agama dengan nilai lainya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), interal-sekuensial. Atau bahkan bertikal linier (Muhaimin, 1995).
       Dalam konteks pendidikan Islam (al-tarbiyah al-islamiyah ) berarti al-tarbiyah al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-dini/pengajaran keagamaan. Atau al-ta’lim al-islamiah/ pemgajaran keislaman merupakan bagian (sub) dari sistem pendidikan yang ada, dalam rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam).
            Umat islam dididik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata peendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai: (1) pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan (2) penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama. (3) perbaikan kesalahan, kekurangan kesalahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengajaran dalam agama. (4) pencegahan hal-hal yang negative dalam lingkunganya atau budaya asing yang berbahaya. (5) sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagyaan dunia akhirat, dan (6) pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagama (Muhaimin, 1996). Jadi. Pendidikan agama lebih menonjolkan fugsi moral dan spiritual atau dimensi efektif daripada koknitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan Spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainya.
            Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Didalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan(mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didukung sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama tersebut bergantung pada kemauan-kemauan, dan political-will dari para pembinanya dan sekaligus pimpinan darilembaga tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaraan (kuliah) lainya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaraan atau mata kuliah lainya dapat bersifat horizontal lateral (independent), lateral sekuensial, atau bahkan vertical linier.
            Relasi yang bersifat horizontal lateral (independent) mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama memiliki hubungan yang sederajat yang independent, dan tidak harus saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber ilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempuyai relasi vertical-linier dengan agama.
            Fenomena pengembangan ipendidikan Islam di sekolah atau perguruan tinggi unum nampaknya sangat berfariasai. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horisotal-lateral (independent) ada yang mengembangkan pada relasi lateral-sekuensial, dan ada pula yang erobsesi untuk mengembangkan pola relasi virtikal-linier Semuanya itu lagi-lagi akan banya ditentukan kemauan, kemapuan, dan political-will dari para pendidikan agamaserta pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut.
            Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang hanya cukup puas dengan pola relasi horizontal-lateral (indepemdent). Barangkali kebijakan tersebut relative mudah diplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dan kebijakan tersebut adalah para guru agama harus memahami ilmu umum dan menguasai ilmu agama, sebaliknya guru umum dituntut untuk memahami ilmu agama dan menguasai ilmu umum (bidang keahlianya). Bahkan guru agama dituntut untuk mampu mnyususn buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.
            Namun demikian, kadang dirasakan adanya kesulitan, terutama ketika dihadapkan pada dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara keduanya. Contoh sederhana adalah menyangkut asal usul manusia. Sains yang diajarkan sekolah bertolak dari dasar pemikiran bahwa manusia berasal dari kera. Sementara pendidikan agama tidak demikian. Psikologi behaveoristik bertolak dari hasil penelitian terhadap sejumlah hewan untuk diterapkan kepada manusia, sementara pendidikan agama dari hasil pemahaman terhadap wahyu (kitap suci). Ilmu ekonomi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang paling serakah (kapitalisme), sehingga bagaimana seorang yang memiliki modal sedikit, tetapi mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar, yang berbeda halnya dengan pendidikan agama, demikian seterusnya.
            Suasana tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik, terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikn Umum) saling memaksakan kebenaran pandanganya . agama memang bertolak dari keimanan sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari keraguan. Dari sini peserta didik diuji pandanganya. Bila pandangan agama mendominasi pemiliranya, mungkin ada kecenderungan bersikap pasif dan statis, sedangkan bila ilmu pengetahuan mendominasi pemikiranya maka ada kecenderungan untuk bersikap split of personality. Jangan-jangn budaya NKK (Nepotisme, Koropsi, dan Kolusi) antara lain sebagai akibat dari pengembangn pendidikan Islam yang menggunakan paradikma mhecanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi Horisontal-lateral (independent) dan lateral-sekuensial.
C.    Paradigma Organisme
            Istilah “oeganism” benda hidup (plamts, animals and bacteria are organisms), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit. Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma organism bertolak dari pandangan bagwa pendidikan islam adalah kesatuan atau sebuah sistim (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanshauung) Islam, yang dimanivestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup yang Islami.
            Dalam konteks pandangan semacam itu, al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam) berarti al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam) dan al-tarniyah ‘inda al muslimin (pendidikan di kalangan orang Islam). Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibagun dari fundamental doctririns dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunna shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historitasnya. Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspak-aspek kehidupan lainya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical-linier dengan nilai Ilahi/agama.
            Melalui upaya semacam itu maka system pendidikan Islam diharap dapat mengitegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama.
            Model paradigma tersebut nampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistim pendidikan islam di Madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu (1) sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup keislaman: dan (2) memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan system sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengaruh, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif dan (3) mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalamarti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.
            Bagaimana dengan IAIN? Nampaknya pengembangan pendidikan Islam di lembaga ini masih lebih dekat dengan paradigma formisme. Untuk dikembangkan kea rah paradigma organism, rupanya perlu dilakukan tranformasi IAIN menjadi Universitas Islam negeri. Tranformasi ini perlu segera direalisir karena betapa kita telah melihat bahaya yang dialama oleh dudnia barat yang memisahkan ilmu pengetahuan dengan ilmu agama (paradigma famisme), demikian pula produk pendidikan Islam yang meneraplan paradigma mechanism yang belum mampu menjadikan pendidika agama sebagai factor integratif dalam pengembangan keilmuan, bahkan masing-masing berbicara dengan bahasamya sendiri (relasi horizontal-lateral) dan diantara mereka tidak terjadi komunikasi dan interaksi yng produksi dan dinamis.
            Menurut H.A.R. Tilar (1998), bahwa penelitian, pemiliran, dan gagasan-gagasan dari para ahli yang terpisah-pisah tersebut (horizontal-lateral/independent) dapat berbahaya dalam esistensi kehidupan manusia. Coba kita lihat apa bahaya dari biyo teknologi dengan adanya praktek cloning terhadap binatangyang dewasa ini juga dilaksanakan juga kepada manusia. Meskipun pemerintah Amerika Serikat misaknya telah melarang teknologi cloning terhadap manusia, tetapi hal ini telah merupakan indikasi perlunya kita berhati-hati di dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu, kata beliau, Universitas Islam yang direncanakan harus merupakn suatu modal lembaga pendidikan tinggi masa depan karena lembaga tersebut akan mengitegrasikan ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika yang pada akhirnya merupakan karakteristik dari masyarakat madani era global abad 21.
            Dari berbagai urain diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan pendidikan Islam di Indonesia memang amat di perlukan untuk mempertajam pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kendatiun itu nukan pekerjaan yang sederhana dan bahkan akan menimbulkan kontroversi.
            Kalau penulis memotretnya dengan menggunakan alat bantu delapan Istilah yang tercakup dalam pengertian al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam) serta tiga paradigma (jendela pandang ) pengembangan pendidikan Islam sebagaimana uraian diatas, maka sebenarnya semua itu mereupakan ijtihad dari penulis sendiri, yang tidak menutup kemungkinan ada potret-potret lainyang menggunakan alat dan paradigma yang berbeda pula.jika penulian tersebut dianggap terlau menyederhanakan persoalan, alangkah baiknya para pembaca dapat menawarkan alternative lainya guna memperkaya wawasan serta visi kita terhadap model-model paradigma pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
2.    HOLISTIK, HUMANIS DAN PLURALISTIK
A.    Paradigma holistik
            Paradigma holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
            Pada era tahu 1960-an pendidikan holistik sempat ditingalkan para pakarnya, namun pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali sejak dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Internasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential.
            Bicara masalah pendidikan holistik perlulah kiranya kita semua belajar pada ibu Ratna Megawangi, Ir. M.Sc, Ph.D. pelopor pendidikan holistik berbasis karakter di Indonesia. Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation, yang mengelola hampir 100 sekolah karakter di berbagai penjuru tanah air.
            Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Sembilan pilar karakter yang dikembangkan di dalam penyelenggaraan pendidikan holistik;
1)         Cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya
2)         Kemandirian dan tanggungjawab;
3)         Kejujuran/amanah, diplomatis;
4)         Hormat dan santundermawan,
5)         Suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
6)         Percaya diri dan pekerja keras;
7)         Kepemimpinan dan keadilan;
8)         Baik dan rendah hati
9)         Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
      
       Model pendidikan holistik menggunakan tiga metode, yaitu: knowing the good, feeling the good, dan acting the good.  Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Acting the good berubah menjadi kebiasaan.
       Setiap anak untuk tiba pada perilaku berkarakater kuat membutuhkan proses luar biasa sulit, butuh perjuangan yang tidak mudah. Namun kalau anak sudah terbiasa berbuat baik, sekali dia berbuat tidak baik sudah tidak enak. Timbul budaya malu dalam dirinya jika melakukan perbuatan buruk. Termasuk menyontek pada saat ulangan.
B.     Paradigma Humanistik
       Paradigma pendidikan humanistik memandang manusia sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya; sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial; sebagai hamba Tuhan, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: (1) manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, (2) manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri, (3)manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia, (4)manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dan (5)manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia.
       Selain itu, menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi lebih dari itu menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun karakter kemanusiaan dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia lain, yang tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai dan aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem pendidikan yang menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit” (paradigma pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik. Tidak memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan sebagai bahan mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat tertentu. Pendidikan adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang sama).
C.    Paradigma Pluralisme
       Manusia, sebagai individu dan masyarakat, merupakan dua objek penting dalam perkembangan sosiologi. Sebagian ahli menekankan pada manusia sebagai individu, dan sebagian pada manusia sebagai masyarakat. Pada hakekatnya dari sinilah titik tolak munculnya paradigma pluralis. Manusia dan kelompok (menjadi masyarakat dalam arti luas) adalah dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan objek yang berbeda, meskipun satu objek bisa diterangkan melalui objek lainnya.
       Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Tindakan manusia sulit diprediksi, karena adanya kesadaran yang berbeda antar manusia. Manusia sebagai aktor sosial menafsirkan dunia empiris mereka sendiri secara bebas dan berbeda satu dengan lain. Dengan demikian, aspek kualitatif lebih dikedepankan dibandingkan aspek kuantitatif.
       Immanuel Kant merupakan filosof utama yang dijadikan basis paradigma pluralis. Menurut Kant, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang suka berteman sekaligus juga berkompetisi, namun manusia tetap senang dengan harmoni. Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, dan memiliki kebebasan menafsirkan realitas di lingkungannya secara aktif. Sementara, menurut J. Rousseau, masyarakat adalah sebuah kontrak sosial. Ada struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, dimana kontrak sosial merupakan sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol.
       Sejalan dengan konsep manusia Kant, Rousseau mengembangkan teori kontrak sosial. Dalam teori ini, terbentuknya negara (masyarakat politik) karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Sumber kewenangan disini adalah masyarakat itu sendiri.
       Meski pada prinsipnya manusia sama, namun alam dan lingkungan lain telah menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki beberapa orang tertentu. Mereka lebih kaya, lebih dihormati, dan lebih berkuasa. Untuk menghindari ketidaktoleranan dan kelabilan, masyarakat mengadakan kontrak sosial. Ini merupakan kehendak bebas dari semua untuk memantapkan keadilan dan pencapaian moralitas terbaik. Melalui kontrak sosial individu akan dapat mempertahankan dirinya agar tetap jadi manusia merdeka.
       Dalam pradigma pluralis, manusia merupakan makhluk dengan ciri dualisme yaitu sebagai makhluk sosial (sociable) sekaligus berkesadaran secara individu (self assetive). Bukannya eksternal tidak mampu menekan manusia, namun perilaku manusia adalah makhluk yang intentional sekaligus voluntary. Kebebasan lebih dimaknai sebagai hal yang personal dan individual, bukan sebagai hal yang kolektif.
       Dalam memandang masyarakat, paradigam ini melihat bahwa realitas sosial merupakan dunia yang subjektif, yang dibentuk karena ada ide dan makna yang saling didistribusikan. Karena makna yang dibagi tidak sealu sama, maka yang terbentuk adalah masyarakat heterogen. Resiprositas dalam arti luas merupakan basis relasi dalam masyarakat, dimana tiap orang berorientasi pada orang lain.
       Dalam hal metodologi, paham idealisme merupakan basis dalam melihat manusia. Karena perilaku manusia sulit diprediksi, maka ia menolah determinisme. Dengan demikian, penyusunan pola, hukum dan statistik sulit dipakai; meskipun ia tidak menolak generalisasi. Ia berupaya memahami bagaimana realitas dikonstruksi, dengan fokus pada kesadaran (consciousness) manusia dimana objek riset adalah manusia individu.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
            Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge, 1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan kehidupan islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam.
            Berangkat dari pemahaman diatas maka kemudian muncul beberapa paradigma pendidikan islam sebagaimana berikut :
1.    Paradigma Formisme, Yaitu cara pandang sederhana yang memandang kepada perbedaan atau dikotomi atau diskrit. Karena paradigma ini maka terjadi dikotomi dan pemisahan antara sekolah umum dengan sekolah agama, antara swata dan negeri, antara dunia dan akhirat, sehingga dapat menimbulkan cara pandang yang sempit dan tidak akan mencapai suatu kemajuan yang berarti.
2.    Paradigma Formisme, Paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.
3.    paradigma organism, paradigma ini bertolak dari pandangan bahwa pendidikan islam adalah kesatuan atau sebuah sistim (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanshauung) Islam, yang dimanivestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup yang Islami.
4.    Paradigma holistic, merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
5.    Paradigma humanistic, adalah suatu paradigma yang memandang manusia sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup.
6.    Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung, CV. Rosda Karya
Ø  Mas’ud, Abdurrahman, 2003. Menuju Paradigma Islam Humanis. Gama media: Jogjakarta.